Cerpen Cinta : "Dibalik Gerimis Senja Desember Kanada"
“Ah, udah jam tujuh nih.
Gimana caranya biar bisa pulang ya. Rumah tante jauh banget dari sini. Mana
gaada uang lebih lagi. Ini juga, hujan dari tadi ga berhenti berhenti. Sial
banget ini nasib”,keluhku tepat di emper sebuah toko tempatku berteduh. Namaku
Amor Alphonsine Alexandria. Aku adalah gadis kelahiran Perancis berkebangsaan
Indonesia yang sekarang tengah mengejar ilmu di negeri orang. Di benua Amerika.
Di Ontario, Kanada.
Mata kuliahku hari ini,
cukup berat begiku. Sehingga aku harus mengikuti pelajaran tambahan ketika
teman temanku yang lain sibuk menemui kerabatnya, keluarganya atau bahkan
kekasihnya yang tengah menjemput mereka di depan gerbang sekolah yang dikenal
dengan nama Universitas Toronto. Salah satu universitas ternama yang ada di
Kanada. Dan akupun merasa cukup bangga karena bersekolah disini.
Karena jam pelajaran
tambahan itulah yang membuatku harus pulang malam. Sedangkan hujan turun
sebelum aku mendapat taksi dan mengharuskanku berteduh bila saja aku tak mau
jatuh sakit karena air hujan yang begitu dingin ini.
“excusez-moi, en attente pour le ramassage?”, kata seorang pria yang berada di dekatku. “uhm.. sorry. i can’t understand what you talking about”, kataku malu malu. “oh, I’m sorry. Maaf, kukira kau dari sini saja”, jawabmu singkat dalam bahasa inggris yang sulit ku mengerti. Memang benar aku kelahiran Prancis. Tapi bukan berarti bahasa Prancis ku lancar dan baik baik saja. Itu salah besar. Setelah lama berbincang, kau menawariku untuk pulang bersama karena ternyata rumah kita satu arah. Awalnya, aku takut untuk menerima tawaranmu. Tapi akhirnya, kuterima juga.
Hari itu, pertama kalinya kita bertemu dan kutau bahwa namamu adalah Jimmy Peter Sullivan. “Thank You, Peter. Terimakasih banyak, senang bisa bertemu denganmu. Lain kali mampir ya. See you later”, ucapku sebelum turun dari mobil mewah berwarna biru itu. Kau hanya tersenyum menatapku.
Hari berikutnya. Aku mengalami kejadian yang serupa. Dan entah angin mana yang mengabarimu bahwa aku butuh tumpangan lagi. Seperti hari kemarin, kau mengantarkanku pulang dan tersenyum kepadaku sebelum mobilmu hilang di tikungan jalan. Kita semakin sering pulang bersama karena hujan di bulan desember ini semakin sering mengencingi kota Kanada yang indah ini. Hingga akhirnya, kita pun bertukar nomer telepon dan akun beberapa media sosial kita.
“Tante, nanti malam aku mau keluar ya. Aku mau dinner sama temenku. Boleh kan?”, kataku sembari membantu tanteku menyiapkan sarapan di dapur. Tanteku keheranan melihat sorot mataku yang berbinar binary dan pipiku yang berubah menjadi merah ranum. Awalnya, tanteku ragu. Tapi akhirnya, tante pun mengindahkan permintaanku. Aku segera masuk ke kamar mungilku di lantai atas dan dengan sigap mencari pakaian yang akan kupakai nanti. Kurasa aku harus tampil cantik malam ini.
“tiiiiiiin.. tiiiiiin”, suara klakson mobilmu terdengar jelas dari kamarku. Entah kenapa jantungku terasa berdegup kencang. Rasanya aku grogi dan badanku seakan akan gemetar. Tapi semua itu tak kuhiraukan. Tanpa basa basi, aku segera menemuimu di lantai bawah, dan mengajakmu untuk berlalu, kau pun berjalan dengan memeluk bahuku. Hatiku terasa berbunga bunga. “Inikah cinta?”, aku berusaha menahan senyumku sebisa mungkin. Malam itu berlalu dengan indah. seindah payung alam yang berhiaskan bintang.
Setelah malam itu, aku tak lagi pernah bertemu denganmu. Mendapat kabarmu dari akun akun yang pernah kita tukar sebelumnya pun tidak. Aku khawatir tentang keberadaanmu. Baik baik sajakah kau? Aku tak mengerti. Kurasa aku sedang jatuh cinta. Tapi, apakah benar aku merasakannya? Kau hanya seorang laki laki yang muncul dalam dekapan hujan awal Desember. Dan kini, keberadaanmupun, aku tak tau.
Berhari hari sudah, kau hilang tanpa ada kejelasan. Aku tak sadar bahwa ternyata aku juga mencarimu. Aku bertanya kepada banyak orang, tapi tak satupun dari mereka menjawab kegelisahanku. Semacam ada kerja relawan dalam permainan ini. Aku benar benar sedih dan kecewa, hingga aku berencana bahwa besok aku pulang senja dan berharap akan hujan lagi.
Sampai hampir pukul 10 malam, hujan masih mengguyur Ontario. Kau pun tak kunjung datang. Aku menyusuri lorong demi lorong pertokoan di pinggiran kota ini. Dan tepat sebelum persimpangan, aku melihat nyala lampu mobil yang berkelap kelap di depan mataku, sepertinya memanggilku. Tak kuduga, itu kau. Ya, benar benar kau. Hatiku lega. Sebelumnya, kuharap aku bisa meluapkan semua amarahku ketika aku bertemu denganmu lagi. Dan kini, bukan amarah yang kuberi. Aku tak bisa mengucap sepatah katapun. Yang ada hanya semburat senyum yang perlahan merekah.
Kau mengantarkanku pulang. Tapi sebelum aku turun, kau tak memberikan senyum yang biasa kudapatkan sebelum masuk ke rumah bergaya ala eropa disampingku. Kau memelukku, dan membisikkan sebuah kalimat. Kalau aku tak salah dengar, kau akan menjemputku besok sore. Sekali lagi, aku hanya terdiam. Pelukan itu membekas bahkan sampai aku larut dalam mimpi yang panjang.
keesokan harinya, seperti yang kau janjikan kemarin malam. Kau telah berada di ruang tamu sebelum waktu menunjukkan bahwa saat itu senja telah datang. “Tak biasanya kau bersemangat seperti ini. Ada apa ini”, tanyaku basa basi kepadamu yang dari tadi menungguku turun dari lantai atas. “Ah, biasa saja. Tidak ada apa apa. Ayo berangkat”, sahutmu dengan senyummu yang manis.
Tepat sebelum mentari mengucap salam pada dunia dan meninggalkan secercah sinarnya yang berwarna jingga dan cerah, kita telah berada di suatu tempat. “Kenapa kau membawaku kemari? Kau tek pernah memberitahuku sebelumnya kalau kita akan pergi ke tempat seperti ini”, tanyaku kebingungan. Kau hanya diam. Dan terus saja diam sampai langkah kita terhenti di sebuah nisan bertuliskan namamu. “Jimmy Peter Sullivan. Born 18th May 1994. Death 25 December 2014”. “Oh My God. Apa maksudnya ini Jimmy? Ini bukan kau kan? Pasti tidak. Ini tidak mungkin terjadi”, suaraku parau. Badanku lemas tak berdaya. Aku seperti hilang. Kakiku seperti melayang. Aku tidak bisa berpikir jernih. Yang kutunggu hanyalah penjelasan dari mulutmu. Aku menunggu detik detik dimana kau akan berkata bahwa ini hanyalah lelucon di desember terakhir.
Aku terus menatapmu. Kau hanya tertunduk. Lama kita berdiam diri. Suasana hening dan mencekam ini membuat putaran detik di jam tanganku nyaris terdengar sebagai iringan melodi nan dramatis. “Alexa. Maafkan aku. Aku benar benar mengalami hal ini. Waktuku hidup di dunia ini, bukan aku yang mengatur. Aku hanyalah pemeran dalam scenario Tuhan. Aku sudah meninggal beberapa hari yang lalu. Aku dibunuh sekelompok preman suruhan temanmu. Seorang teman yang sedang mati matian menyukaimu dan tak pernah menginginkan kehadiranku. Aku tak akan menyebut siapa dia. Yang jelas, dia akan mengungkapkan perasaan itu. Kau akan melihat dia dengan jelas. Tepat didepan matamu. Tapi bukan itu yang ingin aku katakan, Alexa. Aku hanya ingin kau tau bahwa aku mencintaimu. Aku menyayangimu lebih dari sekedar teman dan sahabat. Ya, aku hampir saja berhasil mengatakan ini, tapi nasibku berkata lain”, kau menghela nafas panjang. “Aku benar benar mencintaimu Alexa. Tapi kini kita berbeda. Kau bahkan tak lagi bisa memegang tanganku sekalipun. Jadi, kurasa. Cinta kita hanya akan berujung pada Desember tahun ini. di senja ini, rajutan cintaku padamu mau tak mau harus terputus juga. Cintaku mungkin akan lenyap ditelan tahun baru tengah malam nanti. Jadi.. Terimakasih Alexa. Atas semua yang kau beri padaku. Maaf aku membuatmu kecewa. Aku sayang kamu”, kau mengatakan itu dengan bahasa Prancis yang begitu lancar. Dan entah kenapa, aku bisa memahami kata demi kata yang kau rangkai. Aku menangis sejadi jadinya, sebelum petang datang menghadang dan semuanya menjadi gelap.
“Alexa, bangun. Udah siang, nggak ada mata kuliah hari ini?”, suara tanteku membuatku terkejut. Aku segera sadar dari tidur yang benar benar panjang. Rupanya aku tertidur dari kemarin. Ingatanku masih belum beranjak dari nisan bertuliskan nama “Jimmy” itu. “Apa maksudnya semua ini? kuharap ini Cuma mimpi”, harapku. Aku memalingkan wajah dari cermin di samping tempat tidurku. Lagi lagi, aku merasakan detak jantungku layaknya pelari marathon. Sangat cepat. “Jimmy”, kataku lirih. Dan kau hanya tersenyum sebelum ragamu ikut terbawa angin pagi Kanada yang sejuk. Aku sesegukan menahan airmata. “Aku menyayangimu Jimmy. Selamat Jalan”, desahku dalam hati.
Komentar