Cerpen Cinta : "Aku Baru Saja Mencintaimu"
“Pagi Mei..”, kau menyapaku selembut sentuhan embun pagi hari ini.
“oh
iya, pagi juga ndre”, jawabku berusaha tak kalah ramah.
“Kamu
lagi ngapain? Sibuk banget kelihatannya. Ada yang bisa dibantu neng?”, tanyamu
beriringan dengan tawamu yang khas.
“Ah
nggak. Biasa. Ini nyiapin alat buat jam IPA nanti”, ujarku singkat.
Bulan
Desember tahun lalu, aku dan Andre resmi menjadi sepasang kekasih. Dia menembakku
secara langsung tepat di pinggir danau sekitar taman kota. Ya, kita adalah
seorang kekasih. Tapi, bahkan aku sendiri sampai saat inipun tak tau apa
sebenarnya status kita ini. Bagiku, kau adalah temanku. Tidak lebih dari itu.
Hari
ini, kita sepakat bertemu di café tempat kita biasa bertemu. Selalu sama, aku
tak pernah menyisihkan waktu untuk berdua denganmu. Semacam, ada kerjasama dari
otakku dan bibirku. Aku pasti beralasan macam macam agar kita tidak berdua
saja.
“Lin,
nanti ikut aku ya! bisa kan? Ke tempat biasa. Nanti sore aku jemput deh kamu,
ke rumahku dulu. Terus kita berangkat bareng naik mobil Andre. Bisa ya?”,
tanyaku kepada Lina yang sedang asyik membaca buku di perpustakaan. Dia hanya
mengangguk. Mengindahkan ajakanku.
Lina
adalah sahabatku. Sahabat lama yang selalu bersama dalam suka dan dukaku. Dia mengerti
seluruh seluk beluk dalam hidupku. Bercerita kepadanya seperti menemukan semua
solusi dari permasalahan yang ada. Dia bagaikan motivator tersendiri bagiku. Kita
selalu terbuka satu sama lain. Tapi sayang, untuk yang satu ini, kurasa Lina
tak harus tau. Ya, perasaan pura pura cintaku kepada Andre, mungkin cukup aku
saja yang harus merahasiakannya.
Jam tiga
tepat, aku bergegas ke rumah Lina. Ah, rupanya Lina sudah menungguku diatas
ayunan depan rumahnya. Segera kutarik tangannya untuk pergi. Di rumah, Andre
telah sampai lebih dulu daripada aku dan Lina. Tak lama kemudian, mobil
maticnya pun berjalan menyusuri jalanan ibukota yang tak pernah absen dari
kemacetan.
Setelah
sekian lama berbaris bersama mobil lain yang berwarna warni, setengah jam
kemudian, kita bertiga sampai di café langanan.
“Mbak,
pesen yang kayak biasanya ya. masih ingat kan?”, kata Andre.
“Baik
mas, harap ditunggu beberapa menit ya, pesanan akan segera dibuatkan”, pelayan
manis berperawakan apik itupun berlalu meninggalkan meja nomor 18 ini. Rupanya,
dia benar benar hafal menu pesanan kami. Pesanan datang tanpa meninggalkan
aroma khas masing masing menunya. Kita sama sama menyantap menunya. Andre selalu
berusaha membuatku menatap matanya. Tapi dia tak pernah bisa. bagaimana mungkin
aku harus menatap mata kekasih yang tak pernah aku cintai sekalipun? Bahkan aku
merasa, aku masih single. Aku masih seorang gadis yang tidak memiliki kekasih
ataupun sejenisnya. Aku jomblo? Kurasa tidak. Aku hanya tak menganggap kekasih
yang benar benar mencintaiku. Begitu jahatnya aku.
Di tengah
keheningan malam yang sunyi ini, suasana seakan akan mencekam. Badanku seperti
melayang terbang. Aku tau aku masih berada di tengah keramaian ibukota yang
semakin larut semakin banyak penggemarnya. Tapi rasanya, beban di kepala ini
tak mampu kutahan lagi. Aku benar benar pusing. Lebih dari pusing yang
kurasakan biasanya. Aku ragu apakah dibawah leherku ini masih ada organ lain. Karena
ini benar benar sakit.
“Terimakasih
nak. Kamu telah menyelamatkan nyawa anak saya. Saya tau kamu anak yang baik. Sekali
lagi terimakasih nak. Bapak tidak salah merestui hubungan kalian sebagai pasangan
kekasih. Kamu hati hati ya nak di Perancis. Jangan lupa, sering sering berbagi
kabar dengan saya. Semoga kamu berhasil ya. saya doakan yang terbaik untuk
kamu. Oh ya, nanti pesan kamu saya sampaikan ke anak saya. Sekali lagi
terimakasih ya nak. Kami sekeluarga tidak akan melupakan kebaikanmu”, samar samar dari kejauhan kudengar itu seperti suara orang
yang sangat dekat denganku. “Ya, aku tak mungkin salah. Itu pasti papa”, sergah
hatiku.
Di
ruangan mungil yang lengkap dengan fasilitas kedokteran ini, badanku masih
terbujur diatas ranjang berwarna biru yang penuh dengan rintihan. Aku mencoba
untuk bangkit. Tapi, ragaku yang lain tak mendukungku untuk melakukan itu,
sebelum kesadaranku kembali hilang, dan akhirnya semuanya menjadi hitam. Pekat.
Gelap.
“Jadi,
Andre sekarang ke Perancis ya om?”
“Iya,
kemarin Andre bilangnya begitu. Dia bilang mau ikut orang tuanya”
“Hah?
Andre? Ke Perancis?”, tanyaku dalam hati. Mataku terbelalak setelah mendengar
percakapan itu. dari kamar mungil berwarna pink ini. sekarang, aku ada di
rumahku sendiri.
“Papa???”,
teriakku sekeras mungkin.
“Syukurlah
kamu sadar sayang”, suara papaku terdengar haru, dan kalbu. “Mei, kemarin penyakit
kamu kambuh lagi. Dan mungkin itu lebih parah dari sebelumnya. Tapi untung saja
ada Andre yang mendonorkan ginjalnya kepada kamu. Kalau tidak, nggatau deh”,
jelas Lina seakan akan dia adalah pembaca pikiran yang handal. “Hah? Andre?
Ginjal”, aku ragu mengatakannya. “Iya. Andre donorin ginjalnya buat kamu. Dan sekarang
dia udah lepas landas di Perancis. Dia ikut orang tuanya pindah kesana. Dia titip
salam buat kamu. Dia bilang maaf gapernah certain ini ke kamu. Dia nggatau
gimana bilanginnya ke kamu. Soalnya, kamu jarang nanggepin dia waktu dia
ngomong”,cetus Lina.
Aku hanya
bisa termenung dan diam. Lama kelamaan telaga air mata mulai membanjiri mataku
yang masih malas untuk kubuka. Aku tak tau harus bagaimana. Hari ini tepat satu
tahun kisah kasihku dengan Andre. Dan hari ini juga, aku mulai merasakan
gejolak yang tak pernah sekalipun aku rasakan sebelumnya. Dia sebaik itu
kepadaku, bahkan dia merelakan organ tubuhnya demi nafasku belaka. Dan kini dia
pergi. Ya Tuhan, begitu hinanya aku. Sekarang kurasa aku semakin lemah. Butiran
air mata mengalir begitu saja.
“Kenapa
kamu pergi saat aku mulai mencintaimu?”, kalimat itu terus saja berputar putar
di kepalaku seperti tak pernah berujung. Kutau, fikiranku menentang keras hal
itu, tapi hatiku lain cerita.
Kau
benar benar pergi setelah aku mendapatkan arti dari sebuah pengorbanan. Dan sekarang,
aku tau arti dari sebuah keajaiban. Kau adalah kekasihku. Benar benar kekasihku.
Farikhah Qumairoturrohmah
Jombang, 20012015
Komentar