Cerpen Politik



Jangan Ubah Negeriku Menjadi Lawakan

Tak sadar aku dibuatnya, hingga airmata ini jatuh butir demi butir. Aku tak mampu membayangkan bagaimana rasanya menjadi seperti mereka yang kelaparan. Kehausan, kepanasan, bahkan kedinginan setiap detiknya.Timbullah sisi penasaran di benakku. Apa gerangan terjadi pada tanah ini? marahkah Tuhan atas ulah kami yang sellau meninggalkan budi dan pekerti. Tak bersahabatkah alam yang sellau memotret diri kita sebagai orang yang bangga dengan berlimpahnya dosa. Ada apa sebenarnya. Terkutukkah kita?
Namaku Velaria Nirwana. Aku masih duduk di bangku kayu di suatu sekolah menengah atas di kota tempatku berhuni. Karena kegemaranku dengan ilmu social, aku masuk ke jurusan social. Tentunya, dengan harapan, aku bisa menyalurkan semua bakat terpendamku dan mewujudkan mimpiku yang hanya sebatas angan selama ini. Aku hanya tinggal seatap bersama ibuku yang usianya sudah beranjak senja. Begitu banyak orang mencemooh ketertarikanku terhadap jendela social dan ilmu kewarnegaraan, tapi tidak dengan ibuku. Ibu selalu mendukung apa yang kulakukan, selagi itu masih dalam ambang bermanfaat dan tidak melampaui batas.  Pernah suatu ketika, pada saat banyak orang mengucilkanku karena gaya bahasaku yang selalu berkaitan dengan social. Bahkan tak jarang dari mereka menyuruhku untuk berhenti melakukan aktifitasku yang berkaitan dengan social. Mereka kata, percuma karena social di negeri ini telah mati. Tapi tetap tidak demikian dengan ibuku. Ibu bak malaikat yang menjemputku dari kegagalan. Mengajakku untuk kembali pulang dan bangkit, melindungiku dari sengatan ganas dunia dengan hangatnya pelukan seorang ibu.
Aku dan ibu tinggal di pemukiman kecil di pinggiran sebuah kota. Walaupun masih di pinggiran kota, kehidupan masyarakat di sekitar tempat dimana aku dilahirkan ini tak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Ibuku seorang pedagang kaki lima. Kebiasaan sehari hari hanyalah berdagang di jalanan jalanan kota yang tidak menetap dengan berteman dengan gerobak tua yang usianya tak jauh beda dengan usiaku. Ibuku seorang pahlawan yang rela berkorban untukku. Rela bekerja keras membanting tulang demi bahagiaku. Tapi rintangan demi rintangan yang tak pernah absen setiap harinya. membuat aku semakin tak tega dengan ibu. Tapi ibu sealu bilang bahwa ini hanyalah cobaan Tuhan. Kita hanya butuh sabar. Karena sabarlah kunci utama dalam keberhasilan. Aku hanya bisa tersenyum mendengar kata kata ibu yang bisa dibilang itu adalah motivasi hidupnya. Memang ibu adalah manusia yang tulus. Setulus kasih sayangnya yang tak henti hentinya mengali di nadiku dan detak jantungku.
Pernah suatu malam ibu tak kunjung pulang jua. Aku khawatir. Aku takut sesuatu menimpa ibu. Aku mencoba keluar dari gubuk kecil berpintu itu guna mencari keberadaan ibu. Lama aku berkeliling, akhirnya  ada teman ibu yang berpapasan denganku dan mengatakan bahwa ibuku ada di kantor polisi, karena ada razia pedagang keliling tadi sore.  Aku yang medengar langsung dari sumbernya, sangat prihatin pada ibu. “Ini sangat tidak adil”, batinku. Bergegas aku menuju tempat dimana ibuku berada. Disana aku dilontarkan beberapa pertanyaan dari pihak kepolisian. Setelah mereka mengerti maksud dan tujuanku, mereka mempersilahkanku menemui ibuku di salah satu ruang disana. “Bapak polisi yang terhormat, mengapa anda membawa ibu saya menuju tempat penuh dosa ini? Ibu saya tidak bersalah pak”  sisi lain hatiku berkata dengan sopan. Namun, sisi lainnya aku sangat geram.
“Mbak, apakah mbak tidak tau penyebabnya? Penyebabnya sudah jelas mbak. Ibu anda menggelar dagangannya di sekitar jalan. Dan itu snagat mengganggu ketertiban dan keamanan mas” begitulah celoteh seorang bapak berkumis paruh baya yang ada dihadapanku. “Kalau ibu saya tidak seperti itu, bagaimana nasib keluarga kami pak. Tidakkah anda berpikir. Apakah anda tidak bisa merasakan? Ini sangat membododkan kaum”. Belum selesai aku berbicara, laki laki itu menyela dengan sebuah kalimat. “hei, kau anak muda. Jaga etika kau. Kau ini sedang berhadapan dengan pihak kepolisian. Ini sudah aturan. Mau diapa apakan ini tetap aturan”. Sungguh, kata kata yang tidak bernilai itu, mengguncang emosiku. Aku mulai naik darah. Aku tersenyum sinis. Dan perlahan kata demi kata keluar dari mulutku. “Bapak. Anda ini anggota pemerintahan kan. Sudah sepantasnya anda bercermin, bagaimana kondisi saat ini. apa yang sedang terjadi. Di tengah hiruk pikuknya masalah masalah yang mewarnai negeri ini. diatas sana masih ada saja orang yang tega mengambil jatah orang bawah. Lantas mengapa mereka tidak diperlakukan lebih kejam dari para PKL ini bapak? Apa karena hukum disini masih bisa dibeli? Atau karena ini memang budaya baru Negara Indonesia. Jika memang seperti itu, mengapa saya tidak pernah menjumpai undang undang tentang perevolusian korupsi? Ini bukan lagi masalah biasa bapak.
Saya tau saya rakyat kecil. Tapi rakyat kecil juga punya suara. Kami sudah geram dengan hokum negeri ini yang membuat kami buta akan segalanya. Kami tak lagi dapat menghuni tanah kami yang subur ini. Kami rela jika anak cucu kami yang menempati. Tapi kenyataan yang ada di mata kami bukan itu. Tanah kami yang dulu subur dan makmur ini, rusaknya semakin menjadi setelah era kedatangan makhluk makhluk yang naïf yang jelas jelas tidak ada darah Indonesia semili pun yang mengalir di denyut nadinya. Tidakkah para atasan kami malu melihat kenyataan yang ada saat ini. Tidakkah malu bapak?”. Semua kalimat itu kurangkai dari hati yang setuju dengan perasaanku selama ini. Bapak polisi berkumis itu hanya diam tertunduk. Entah apa yang dia pikirkan saat itu. Belum lama aku berhenti dari ambisiku untuk mengadu pada orang berjabat tinggi di hadapanku itu, kemudian kalimat demi kalimat mulai bosan untuk kusimpan. “Satu lagi pak, bila para PKL seperti ibu saya ini tidak diperbolehkan untuk mengais rejeki di pinggiran kota ramai ini. Lalu, mau dikemanakan mereka. Seandainya pemerintah membuatkan tempat khusus untuk tempat ganti berdagang mereka. Mungkin para PKL ini tidak akan mengemis ataupun berdemo untuk meminta haknya. Tapi jika pemerintah hanya mengusir dan tidak mau tau, bukankah itu akan menambah jumlah pengangguran disini pak? Di negeri ini, para pengangguran sudah tidak bisa dihitung seperti halnya menghitung jari tangan pak. Sudah tidak bisa”.  
Yang aku tau, bapak itu tetap diam. Tak berkutik. Ibuku hanya mengelus rambutku samba mendengungkan kata “sabar”. Tapi tidak ama kemudian, bapak itu menyuruhku membawa ibu kembali ke rumah. Aku berterima kasih dan mulai melangkahkan kaki seirama dengan derap langkah kaki ibu. Harapanku setelah kejadian ini, para PKL seperti ibu masih bisa mendapatkan haknya seperti para politikus dari golongan atas.
Keesokan harinya, aku berangkat menuju tempat dimana aku menimba ilmu. Disana, dengan serius aku memperhatikan semua materi yang diajarkan oleh penerang duniaku. Bel dari arah kantor berbunyi, seperti mengumumkan bahwa jam belajar sudah selesai. Aku bergegas pulang, karena hari itu aku ingin menyusul ibu dan membantunya. Sampai di rumah, aku bergegas mengganti seragamku dengan pakaian ala kadarnya dan aku langsung menuju tempat dimana ibu biasa berdagang. Kutemui ibu disana. Ibu terkejut, aku disini. Karena biasanya aku tak pernah keluar rumah kecuali ada kepentingan mendesak. “Nak, kamu sudah pulang? Tumben kamu kesini? Ada apa nak? Kamu butuh uang?”, tanyanya. “Tidak bu, hanya ingin membantu ibu saja. Dan tentunya ingin menjaga ibu dari anggota pemerintahan ganas itu”, jawabku. Ibu tersenyum. “Sudahlah nak, lupakan masalah malam kemarin. Lebih baik, sekarang kamu ke desa seberang. Disana banyak anak yang kurang beruntung. Kamu pasti punya ilmu yang lebih dari mereka. Gunakan ilmu itu nak. Ajari mereka, seperti gurumu mengajarimu”, ujar ibuku lagi. Setelah kupikir, benar juga. “Iya bu, aku berangkat dulu”, jawabku mengiyakan ibu. Setelah mengucap salam dan mencium tangan ibu, kemudian aku berlalu.
Sampai disana, aku disambut dengan pemandangan yang sangat mengharukan. Banyak anak anak yang lebih muda dariku sudah menjadi tulang punggung keluarga. Belum sempat aku menyeberang kea rah mereka, kemudian rombongan satpol pp dengan sigap menyergap mereka dan membawanya menggunakan mobil hitam, sehitam fungsinya. Hatiku tak bisa tahan melihat semua ini. Aku akan menyusul mereka. Ya, aku harus bertindak. Dengan menggunakan motor peninggalan ayahku, aku berusaha mengejar mobil itu. Sampai di kantor polisi, kejadian seperti hari kemarinpu terjadi. Aku kembali terlibat adu mulut dengan pihak kepolisian. Kali ini, dengan orang bertubuh sedikit gempal. Lama dialog tak enak didengar itu berlalu. Aku menutupnya dengan sebait kalimat. “Daripada anak anak tak berdosa ini selalu kalian anggap sampah, dan koruptor diatas sana kalian puja puja. Buatlah keadilan dari hukum hukum yang sudah kalian pelajari di tempat semasa kalian mengumpulkan ilmu hari lalu. Anak anak ini, akan menjadi pelangi masa depan bilamana keadilan juga dibagikan pada mereka. Daripada seorang koruptor yang bakatnya hanya mensuramkan masa depan.” Polisi itu menyela, “Anak anak ini menjadikan jalanan semakin macet. Dan ditambah lagi, banyak diantara mereka yang hanya berpura pura saja”. “Jadi apa kalian piker karena koruptor tidak menyebabkan kemacetan lalu mereka tidak ditindak sebagai mana kalian menindak anak anak ini? bapak, ini bukan lawakan. Jangan buat negeri ini menjadi semakin lucu karena hukumnya.”, bantahku.
Polisi polisi itu terdiam. Agak lama tentunya. Waktu kosong itu terhenti ketika anggota polisi lain dating menghampiri debat panjang antara aku dan polisi gembul itu. “Lalu, apa yang bisa kami lakukan. Kami juga ingin bangsa ini bersih dari kotornya jejak para koruptor”. “Sampaikan aliran dana untuk pendidikan mereka. Untuk memperbaiki perekonomian keluarga mereka. Sehingga mereka tak perlu lagi lari larian bersama bapak bapak terhormat ini. Atau tidak, buatkanlah mereka di sekolah sederhana. Mungkin dari pemerintah bisa menyediakan lahan, dan biarlah dinas setempat yang mengurusinya. Bisa juga, dengan lapangan pekerjaan sederhana untuk orang tua mereka guna menambah penghasilan keluarga mereka”, cetusku.
Keesokan harinya, aku dipanggil menuju kantor daerah setempat. Aku dihadang dengan beberapa pertanyaan mengenai kejadian hari kemarin. Kali pertama, pertanyaan yang mereka ajukan adalah ‘siapa anda’. Kemudian merekat bertanya mengenai celotehanku dengan pihak berwajib yang sempat terjadi. Dan begitu tak menduganya aku, ketika mereka mengungkapkan suatu pernyatan. “Nak, kami ini sangat senang dengan usul kamu. Kami sudah merencanakan tentang pembangunan sekolah bebas anggaran di daerah ini, guna menampung rakyat rakyat dai golongan bawah. Lalu, bersediakah kamu menjadi guru di sekolah terencana kami ini?”. Aku sempat bingung, tapi akhirnya kuterima juga tawaran itu. Aku ingin berbagi ilmu dengan mereka. Seperti kata ibu.
Berbulan bulan sudah kualui bersama murid muridku. Aku tercengang karena mereka sebenarnya generasi bangsa yang cerdas dan akhaknya mulia. Hanya saja, nasib yang tidak menguntungkan mereka. Merekapun sebenarnya juga memikirkan nasib negeri ini. “Sebenarnya saya malu bu, karena saya menjadi generasi penerus bangsa yang mengemis ngemis di rumah rumah orang ras lain, dan di jalanan jalanan umum. Saya malu, karena menjadi anak bangsa yang tidak bisa mengharumkan nama bangsa. Bahkan, saya tidak terima ketika bangsa saya diruntuhkan karena sudah terlalu banyak generasi yang tidak sejahtera. Saya prihatin bu. Saya tidak terima. Saya malu. Tapi apa mau dikata. Ini takdir, dan saya harus lakukan. Tapi saya bersyukur karena ada ibu. Hadirnya ibu membuat saya semakin yakin bahwa masih ada kesempatan  bagi bangsa ini untuk bangkit dan lebih maju lagi”, begitulah kiranya jawaban muridku yang pernah kutanyai tentang kehidupannya.
Walaupun disana masih banyak lagi persoalan yang tak jauh beda dengan yang kualami, tentunya aku masih bisa bernafas lega, karena setidaknya, aku masih bisa melihat anak bangsa yang tersisih dari pemerataan keadilan, kini kembali mendapatkan keadilan yang sejajar. Akan kuabdikan ilmu yang sudah kurajut selama bertahun tahun ini untuk bangsakau. Hanya untuk Bangsaku. Indonesia.

Karya : Farikhah Qumairoturrohmah


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Teks Fabel Fantasi dan Fabel Fiksi Ilmiah beserta Contohnya

''Puisi Untuk Wakil Rakyat"

CONTOH TEKS FABEL FIKS ILMIAH