Cerpen Kehidupan



Kata Maaf Untuk Ibu

Sudah berkali kali aku membuat bulir bulr airmata menetes di wajahnya yang sudah tak senja lagi. Sejak belia, ia selalu menemaniku dengan kasih sayang dan ketulusan hatinya. Tapi aku, sampai beranjak dewasa sekalipun aku masih sering melukai hatinya, menyakitinya hingga ia tak mampu lagi menitikkan air mata karena terlampau sering aku memutar balikkan fakta dan melemparkan kesalahanku padanya. Bahkan, tak jarang pula aku merepotkannya dengan kegemaranku yang tak berguna sama sekali. Begitu banyak orang yang mencemooh dan mengucilkanku. Sehingga tidak ada alasan untuk memohon bantuan mereka. Tapi, tidak dengannya. Walau dia tau, aku tak dapat menyanggupi untuk menjadi seperti yang dia inginkan, bukanlah cacian yang dia berikan padaku. Bukan pula sindiran yang menusuk yang ia lontarkan padaku. Melainkan, kalimat kalimat indah yang setiap malam ia rangkai dan ia panjatkan kepada Tuhan untukku. Dan, ketika aku kembali bergabung dengan dosa, dirinya bak malaikat yang mengajakku kembali pulang. Melindungiku disetiap perjalanan, dengan kasih sayang dan kehangatan pelukan seorang ibu.
                Ibuku berusia lebih dari 53 tahun. Ia hanyalah penjahit yang hanya berteman dengan mesin jahit tua yang selalu setia menemaninya merancang pesanan baju dari banyak orang yang dating dari berbagai kalangan. Tak jarang tangan ibuku yang sudah keriput itu tertusuk jarum ketika sedang asyik menjalankan tanggung jawabnya. Sambil bersenandung, ibuku selalu saja berusaha untuk tetap menggeuti benang demi benang yang ada di tangannya. Dengan kacamata silinder berharga dua puluh ribuan yang biasa dibelinya di pasar, ibuku tak pernah absen dengan kewajibannya itu. Tak jarang aku menyuruh ibu untuk memeriksakan penyakit matanya itu ke dokter. Tetapi, ibu selalu berusaha menolak dengan alasan ia memintaku untuk mengantarnya pergi ke pasar saja. Sampai disana, ibu langsung mencoba beberapa kacamata, hingga akhirnya ia menemukan kacamata yang membuat pandangannya menjadi lebih jelas.
Ibuku tingga berdua saja denganku. Di rumah kecil nan sederhana, disitulah kami merajut tali kasih dan sayang. Ayahku, pergi meninggalkan kami sejak aku masih bayi. Entah kemana perginya, ibu sekalipun enggan berbagi kisah padaku. Mungkin belum saatnya. Walaupun demikian, ibu tak pernah merasa dendam pada ayahku. Bahkan, ketika aku mencurahkan isi hatiku tentang ayahku yang kuanggap tak sayang lagi padaku, ibu sempat menegorku. Dia selalu berkata “seburuk apapun dia, sehina apapun dia, dia tetap ayah kamu. Bagaimanapun keadaannya, dia adalah sosok yang kamu butuhkan, dan dimanapun dia, dia pasti akan merindukanmu. Dia menyayangimu.” Kata kata itulah yang sellau diucapkan ibu kepadaku, dengan tujuan agar aku mau memaafkan kesalahan ayahku yang tak pernah hadir tuk ramaikan indahnya hari hariku.Malam itu, hawa dingin merasuk kulit, menusuk tulang. Kutatap langit. Tak ada bintang yang siap menemani malam yang sunyi ini. Hanya suara binatang malam yang hiruk pikuk memekikkan telinga. Aku merenung. Memang apa yang ibu harapkan dalam panjatan doanya selama ini, belum seiring dengan perjalananku. Saat itu, aku yang beranjak dewasa, ingin sekali membuktikan pada ibu bahwa aku tidak hanya berbakat dalam hal merepotkan, aku juga dapat melakukan suatu hal yang dapat membahagiakan ibuku. Sekali lagi, benar benar aku fikirkan mengenai ambisiku itu. “Lebih baik kubicarakan dengan ibu. Semoga ibu merestui dan memberikan masukkan atau inspirasi”, kataku mencoba meyakinkan diriku sendiri. Kulihat ibu sedang membaca ayat suci Al Qur’an. Tapi untunglah kalimat terakhir sudah keluar dari  bibirnya yang tak lagi muda itu, pertanda ibadahnya sudah selesai. Kukumpulkan segenap keberanianku, dengan sedikit ragu ragu, kucoba mengawali percakapanku dengan ibu.“Ibu? Ibu, sudah selesai mengajinya?”, kataku ragu. “Iya nak, sudah. Memangnya ada apa? Tumben kamu malam malam gini belum tidur?” kata ibu, membalas pertanyaanku. “Iya, bu. Sebenarnya ada yang mau aku bicarakan sama ibu. Boleh bu?” Aku berharap, ibu sudi mendengar cerita tentang keinginanku yang berniatkan balas budi ini. “Boleh nak, memangnya ada apa, cerita saja, terserah.” Ibuku memberikanku jawaban dengan segaris senyum dibibirnya. Dengan percaya, aku mulai menyusun kata demi kata. “Begini bu, aku kan sudah tidak belia lagi. Umurku sudah mulai mengajakku menjadi orang dewasa. Dan, sampai saat ini, aku masih saja merepotkan ibu. Aku selalu meminta semua kebutuhanku pada ibu. Aku tidak pernah memikirkan ibu yang selama ini selalu bekerja, banting tulag dengan berteman mesin tua itu, hanya untuk memberikan apa yang aku inginkan, hanya untuk mendapatkan beberapa lembar uang yang ujungnya nanti pasti akan kubelanjakan sesuka hatiku. Sekarang, aku baru tau bu. Aku kasihan pada ibu.” Belum selesai aku mengungkapkan inti pembahasanku, hati ibuku sudah mulai trenyuh. Air matanya tak lagi bisa ditahan. Perlahan butir butir air itu menetes membasahi pipi ibu yang sudah agak keriput itu. “Ibu, jangan menangis bu. Aku nggak mau lihat ibu menangis.” Kulanjutkan kata kataku tadi. Kemudian, spontan, tangan yang sedari tadi memegang sehelai tissue ini, menyentuh pipi ibu dan menghapus air matanya. Ibu hanya tersenyum dan mengelus kepalaku, tentunya dengan kelembutan kasih dan sayang. “Ibu, aku tak tega melihat ibu yang setiap hari selalu menguras tenaga untuk makan dan minum kita. Biarlah aku yang bekerja untuk ibu. Izinkan aku ibu. Izinkan aku sekali ini saja. Aku ingin membuktikan pada ibu, bahwa ibu tidak sia sia meahirkanku ke dunia ini dan merawatku penuh pengertian. Tak luput juga perhatian. Ibu, izinkan aku. Aku janji aku akan kembali untuk ibu.” Aku berkata dengan hembusan nafas lega di akhir kalimatku. Tak lama kemudian, kulihat ibu menganggukkan kepalanya dengan mata yang berkaca kaca.Keesokan harinya. Aku tengah mempersiapkan diri. Dengan modal ijazah SMA, aku berniat mencari pekerjaan. Berbulan bulan aku berada di kota Surabaya, namun hasilnya nihil. Kukabari ibu, dan ia hanya berkata, “sabar saja nak, itu namanya cobaan. Jalani saja.” Hari berikutnya ibu menyuruhku untuk melanjutkan sekolahku. “Daripada kamu nganggur nggak ada kerjaan disana, bagaimana kalau kamu melanjutkan sekolahmu? Mumpung kamu di kota, nak. Minimal kamu bisa mendapat ijazah yang lebih tinggi guna menunjang karirmu nanti. Kamu jangan khawatir, ibu baru saja mendapat rezeki, jadi urusan biaya dapat ibu talangi.” Kata ibu lewat telepon di wartel. Aku sebenarnya sangat ingin kuliah. Tapi aku tidak enak dengan janjiku pada ibu. Saat ibu tau keputusanku bahwa aku tidak mengambil tawaran ibu, ibu semakin mendesakku. Dia bilang, dia ingin melihatku sukses sebelum hembusan nafas terakhirnya. Aku hanya mampu mengiyakan desakan ibu. ccc Keesokan harinya, aku mendaftar di salah satu universitas di kota pahlawan itu. Aku diterima. Hari berikutnya, aku mengikuti berbagai macam test. Hasilnya cukup memuaskan. Aku dierima dengan nomer urut atas di sekolah ini. Aku bagikan kabar gembira ini pada ibu, tentunya tidak melalui internet seperti muda mudi sekarang. Melainkan menggunakan telepon yang sudah usam. Ibu sangat gembira. Dia bangga padaku. Aku hanya tersenum puas mendengarnya.Tahun demi tahun pertama berjalan amat indah. Tapi tetap, aku belum mendapatkan pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini, suatu ketika ada seorang teman yang mendatangiku dan menawariku obat obatan terlarang. Entah, angina pa yang membujukku untuk mengiyakannya. Lembar demi lembar uang yang dikirimkan ibu padaku untuk kelangsungan hidupku di kota ini, habis kupakai untuk berfoya foya, pergi ke diskotik dan mengonsumsi berbagai macam merek minuman keras. Untungnya saja, itu tidak berlangsung lama. Ketika aku tau ada salah seorang temanku yang tutup usia karena terlampau sering meneguk barang haram itu, dengan terpaksa kuhentikan kegemaranku itu. Aku tidak mau mati sia sia hanya karena minuman berbotol kaca hijau itu.Berhenti dari kebiasaan itu, bukan berarti aku segera bertaubat. Aku mulai menemukan kesibukan baru yang melibatkan pikiran. Berjudi. Kini aku tak lagi memikirkan mata kuliahku. Setiap malam, aku hanya menghabiskan waktuku di meja judi. Ketertarikanku pada dunia baruku itu membuatku tak segan menjual semua barang yang ada di kamar kosku. Bahkan dengan kesadarn penuh, aku beralasan pada ibu, bahwa ada pembayaran ini dan itu. Al hasil, uang yang dikirim ibu dengan tujuan ingin memmbuatku tak ketinggalan pelajaran, akhirnya ludes hanya dalam beberapa malam.Masih kuingat sorot bahagia mata ibu ketika kukabarkan bahwa kuliahku akan selesai dalam beberapa waktu. “Ibu bangga padamu nak. Walaupun kita terbatas dalam ekonomi, tapi kita tidak terbatas dalam pengetahuan. Ibu akan mengenakan pakaian yang bagus untuk menghadiri wisudamu.” Begitulah kia kira kata ibu. Semakin rajin ibu bertanya kapan aku wisuda, semakin ciut nyaliku untuk pulang kerumah. Apalagi ketika uangku sudah habis bak dilalap bumi. Bahkan tidurku sekarang menumpang di kos teman, karena tidak ada lagi lembaran lembaran materi yang bisa gunakan untuk mempertahankan hidupku. ccc Kubohongi ibu terus menerus. Bahkan kata maafpun seolah tidak lagi berharga saat ini. Bagaimana tidak, beberapa minggu yang lalu, kerabatku sempat mengabaiku bahwa ibuku telah pergi. Meninggalkanku dengan tenang untuk selamanya. Keadaannya sehat sehat saja kala itu. Bahkan, satu jam sebelum pergi, ibu sempat mengobrol denganku. Dalam obrolan itu, ibu menitipkan pesan. “nak, kamu disana jaga dir kamu baik baik ya. Segera selesaikan kuliahmu.” Aku yang tak mau membuatnya tak tenang, aku hanya bisa bilang iya dan iya. Tak kusangka itu obrolan terakhirku. Sontak, aku terhentak. Aku terpukul bukan kepalang. Tak kuduga, ibu meninggalkanku secepat ini. Pun ibu meninggalkanku sebelum sempat kukatakan maafku padanya.Berbulan bulan aku hidup seorang diri. Aku rindu pada ibu yang dulu membelai rambutku dengan belaian kasih dan sayang. Aku rindu ibu yang selalu menasehatiku kala aku salah arah. Aku juga rindu ibu yang selalu setia menemaniku di apapun keadaanku. Aku merindukan sosok ibu disampingku. Di sela sela pedihnya hatiku. Pertolongan Tuhan datang. Aku diterima bekerja sebagai marketing di salah satu perusahaan yang ada di kotaku. Setiap pagi, sebelum berangkat kerja, selalu kupandangi foto ibu yang terpajang di dinding  kamarku, seraya memohon maaf atas perbuatanku selama ini kepada ibu. Aku yakin, walaupun selama ibu hidup, aku tak pernah sempat menguraikan bait demi bait kesalahanku padanya. Tuhan akan menyampaikan penyesalan terdalamku pada ibu. Bila sisa hidupku ini adalah anugerah dari Tuhan. Akan kugunakan untuk beribadah. Mendoakan ibuku yang tengah tersenyum damai di mimpiku, terutama saat hatiku tengah terasa kalut. Kini saatnya aku menekuni pekerjaanku yang sederhana, mensyukuri apa adanya hidupku, seperti yang pernah ibuku katakan. Sekali lagi “maafkan aku ibu.”Aku hanya mempu mendoakanmu ibu. Hanya mengiringi kehidupanmu disana dengan doaku. Yang aku harapkan hanya satu. Semoga Tuhan mengecapku sebagai anak yang sholeh yang doanya diijabah. Hingga ibu tak lagi dikenal sebagai bunda yang salah membesarkan anaknya. Ibu, saat ini masih ada waktu. Bilamana ibu menginginkanku menjadi sarjana, saat ini aku tengah menjalaninya dari awal. Menapaki pekerjaan dan pendidikanku bersama sama. Hanya untukmu, Ibu.Masih kulakukan hal yang sama setiap harinya. Berdoa dan meminta maaf kepada ibu. Hingga pada suatu hari nyawaku tidak tertolong karena penyakit kanker yang sudah bersarang di tubuhku sejak aku masih mengonsumsi makanan neraka. Aku tidak sempat menutup hidupku dengan satu katapun. Hanya saja, aku tersenyum, karena aku akan melepas kerinduanku selama ini kepada ibu. Aku akan bahgia bersama ibu. Hanya bersamamu. Di syurgawi Tuhan.


Karya : Farikhah Qumairoturrohmah     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Teks Fabel Fantasi dan Fabel Fiksi Ilmiah beserta Contohnya

''Puisi Untuk Wakil Rakyat"

CONTOH TEKS FABEL FIKS ILMIAH