cerpen POLITIK


Aku dan Ceritaku di Dunia Baruku

Tujuh hari kedepan menungguku untuk beradu pacu ditengah ganasnya bidang yang kugeluti saat ini. Dunia yang telah kuterjuni beberapa tahun belakangan ini, berpengaruh besar dalam realita hidupku saat ini. Politik, adalah jalur alternatifku untuk mewujudkan impian yang dari dulu menjadi tujuan hidupku. Aku ingin mengabdikan sisa sisa waktu hidupku untuk rakyat Indonesia. Pun aku ingin mengubah konsekuensi Negara tetangga terhadap ketidak bijakan pemerintahan yang ada di Negara ini.
Mendung senja ini, mengajakku untuk menikmati angin segar yang berbakat untuk sejenak melupakan masalah masalah yang hari ini bergabung di memory otakku bersama masalah yang belum teratasi di hari lalu.

Aku menghirup segarnya hembusan udara yang beraroma tenang. Tidak lama kala aku menutup mata, suara isak tangis yang sepertinya sangat akrab denganku terdengar. Dari sudut rumah kecil yang berwarna putih. Dari ruang yang berada di sisi kanan tempatku memanjakan mata . dari tempat itulah sumber suara tersebut berasal. Sejenak kuhentikan ketenangan ini, dan kulangkahkan kakiku ke kamar anakku. Melisa namanya. Semakin dekat semakin jelas rasanya. Kupelankan derap langkahku. Sengaja agar anakku tidak panik. Perlahan, kubuka pintu yang banyak bertuliskan I love papa, I love mama itu. Kudapati dia di atas kasur berwarna putih, persis seputih hatinya dan sesuci cintanya padaku. Kuhampiri dia. Kulontarkan beberapa pertanyaan khususnya sebab airmatanya bercucuran. Dia membalas dengan suara sendu. Ternyata dia rindu dengan sahabatnya. Dia ingin bermain lagi dengan sahabatnya. Mayyasa ,dia adalah sahabatnya sejak kecil. Ayah Mayyasa sendiri adalah lawan politikku, pak Herman namanya. Dia dari partai sebelah. Saat ini dia juga berkecimpung di dunia politik. Entah apa tujuannya dan apa yang ada di pikirannya sampai sampai dia nekat mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Padahal dia baru bergabung di akademi politik. Pun dia belum pernah merasakan ganasnya huru hara dari sengatan politik.

Memang, akhir akhir ini hubungan antara anakku dan Mayyasa sedikit pudar, mungkin hampir tak berkesan lagi. Mungkin ini karena salahku. Ya, sejak ayah Mayya ikut bergabung untuk meramaikan hiruk pikuk kehidupan politik Indonesia, jarak antar keluarga kami yang dulunya bisa dikatakan bak gambar rantai yang ada di dada burung garuda dan menjadi perisai Negara, kini seperti pecahan pecahan kaca yang retak, tergores, lalu tercecah. Mungkin karena ayahnya juga tau kalau aku sendiri mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Tapi mengapa? Apa masalahnya? Andai kata itu pokok masalahnya. Lalu kenapa bisa? Seharusnya dia senang karena mungkin nanti kita bisa bertukar cerita dan ceria, berbagi rasa bagaimana ada dalam politik, dan mungkin kita bisa berbagi informasi. Tapi mungkin ada pandangan lain dari keluarga Mayya ketika keluarganya tau kalau ayah dari sahabat anaknya juga mengajukan diri bersaing dengan ayah Mayya.

Mulanya, antara kami tidak ada selisih apa apa, seperti halnya kupu kupu dengan bunga yang setiap hari selalu bersama dan berbagi ceria. Namun, ada satu waktu ketika Melisa, anakku bermain ke tempat dimana sahabatnya bersinggah tetap, anakku tidak diterima dengan alasan bahwa sahabatnya, Mayya tidak mau lagi menemuinya karena ada suatu sebab yang berasal dari dirinya.
Dia pulang dengan rasa sedih yang amat dalam. Pikiran dan hati lugunya mungkin belum sanggup berfikir dan mencari alasan tentang kejadian yang baru saja ia alami. Esok harinya, dia berakifitas seperti biasa, mencoba melupakan kejadian pedih hari kemarin dan memulai pagi ini bersama senyuman sang mentari dan bersama teriknya fajar yang menebar kehangatan. Anakku, berangkat menuju tempat dimana ia menimba ilmu. Dia mulai mengayuh sepeda mungilnya berwarna merah muda. Warna kesukaannya selama ini. Sebelumnya, tak lupa, salam dan izin dia tujukan kepadaku dan kepada ibunya, istriku. Kami hanya bisa mengantarnay dengan doa. Semoga Tuhan hadir dalam setiap langkah mudanya dan menemaninya ketka ia berada dalam ketakutan dimana ketika dunia geram.
Sampai disekolah, Mayya menghampiri Melisa. Dengan tertatih tatih, sedikit demi sedikit, keluarlah bait bait kata dari mulut mungil tak berdosanya. Pun Melisa mencoba mengerti apa yang dikatakan sahabatnya. Mayya meminta maaf atas kejadian senja kemarin, yang mana kejadian itu pasti sudah menyakiti hati kecil melisa. Mayya pun berkata bahwa itu semua hanya scenario belaka. Tak ada kebenaran yang tersirat maupun tersurat dari perkataan orangtuanya yang diucapkan kepada Melisa. Hal itu menumbuhkan tanda Tanya di benak Melisa, ada apa sebenarnya?  Tak bisa diduga, tiba tiba Mayya menjawab pertanyaan yang jelas jelas tersimpan di dalam benak Melisa, dan tidak diucapkan. Mungkin itulah sahabat. Mayya menjelaskan bahwa keluarganya tidak suka dengan keluarga Melisa, karena ayah Melisa dianggap menyaingi ayah Mayya dengan cara menjadi calon wakil rakyat. Melisa terhentak, dia tak habis fikir dengan keluarga Mayya yang selama ini dia anggap seperti keluarganya sendiri tega berfirasat demikian. Entah apa yang dirasakan Melisa saat itu. Yang jelas anakku mecoba tegar dan bersabar, walaupun fikiran dan hatinya bercampur aduk, bak badai telah menyerang. Kemudian Mayya menghentikan lamunan dan menghentikan perasaan sahabatnya yang tak terarah dengan satu kalimat tambahan.  Dia berkata karena itu, Melisa tidak boleh berkunjung kerumah Mayya lagi, pun sebaliknya dengan Mayya. Bermain dengan Melisa juga orangtuanya enggan mengijinkan. Tak terasa, meneteslah eluh dari mata cantik anakku, Melisa. Dia berfikir sejenak, bagaimana dia dapat melewati hari harinya tanpa teman yang selama ini selalu bersamanya. Dengan siapa dia dapat mencurahkan semua rasa yang menguji nyali asanya. Namun, bayangan itu tidak singgah dengan waktu lama. Hal hal lain sepertinya tak mau ketinggalan untuk menambah kepedihan hati anakku. Mayya mencoba menenangkan hati sahabat karibnya itu. Dengan sekuat tenaga, Mayya siap mengubah dirinya menjadi badut untuk menumbuhkan bibit senyuman di sela tangis airmata suci Melisa. Walaupun kala itu, hati Mayya tak kalah hancur dengan hati Melisa.

Lama mereka berada dalam adegan itu. Sampai bunyi nyaring dari kantor sekolah terdengar dan memecah konsentrasi mereka yang larut dalam peran itu. Waktu belajarpun sudah mulai menunggu mereka. Mereka kembali dengan seuntai guratan senyuman tipis pertanda mereka enggan menjadikan masalah yang benar benar nyata itu menjadi pertanyaan bagi teman teman mereka. Pelajaran dari awal sampai akhir mereka ikuti dengan biasa, walau pikiran dan hati mereka tak searah. Jam terakhir berbunyi, pertanda saat itu jam terakhir bagi mereka disekolah, sekaligus. Perpisahan sementara mereka karena orangtua Mayya tentunya akan melarang anaknya untuk bertemu Melisa, anakku. Mereka mengakhiri perjumpaan itu dengan senyum yang terindah yang setidaknya tidak bisa mereka lupakan dan menjadi teman kala mereka tidak bertemu satu sama lain.
Sampai dirumah, anakku menceritakan apa yang ia rasakan padaku. Aku menampung semua keluh kesahnya. Aku ingin mencoba untuk selalu ada ketika anakku membutuhkan payung untuk melindungi dirinya dari problema kehidupan. Tengah ia berkisah, air matanya mulai berlinangan menuruni wajah mungilnya yang masih lembut. Segera kuusap buah kesedihan anakku itu dengan harapan ia bisa melupakan sejenak masalahnya ketika aku memberikan sentuhan kasih sayang yang tulus untuknya. Pun aku mencoba membuatnya tersenyum. Karena sungguh hatikupun miris ketika kudengar celotehannya yang sangat mengejutkan itu. Aku sangat merasa bersalah. Aku yang melakukan, lalu kenapa anakku yang harus mendapat hujaman dan pukulan yang tak seharusnya ia dapatkan.

Waktu demi waktupun berlalu. Angka angka berwarna di kalenderpun juga mulai menunjukkan bahwa waktu pemilihan tinggal beberapa hari lagi. Hal ini membuatku berpikir bagaimana kejadiannya bilamana aku menjadi dewan wakil rakyat. Bagaimana dengan tetangga yang juga menjadi lawan politikku yang sudah kuanggap keluarga. Bagaimana pula hubungan persahabatan anakku dengan Mayya, anak lawan mainku. Apakah aku harus mundur dari kompetisi ini. Tapi, ini adalah langkah awal dari cita yang selama ini aku pikirkan. Aku ingin membawa perubahan bilamana aku terpilih mewakili rakyat dan duduk di kursi dewan. Ini sudah hal yang bertahun tahun aku impikan. Aku merasa dulu, ketika aku membayangkan seperti yang kujalani saat ini hanya bagaikan punuk merindukan bulan. Lalu, pun aku sudah berjerih payah membiarkan peluh peluh menetes membasahi sebagian tubuhku untuk mendapatkan satu langkah yang amat berarti ini. Apakah aku akan melepaskannya begitu saja? Kurasa tidak.
Sudah waktunya aku mempersiapkan diri mendengar keputusan yang nantinya menentukan mimpiku. Telah tiba hari yang sangat menantang bagiku. Aku merasa menciut tiba tiba. Sepertinya asaku sudah tak tersambung lagi ketika tim suksesku mengabarkan bahwa sekarang tiba waktu penghitungan suara dimulai. Aku hanya bisa menunggu dirumah dan membaca baris demi baris ayat suci al Qur’an yang ada ditanganku. Aku berharap Tuhan mendengar doaku dan meridhai apa yang aku lakukan dan merestui upayaku untuk membersihkan Negara.

Hasil suara di TPS adalah saksi dari pilihan masyarakat yang mempunyai hak pilih. Banyak TPS yang berbicara bahwa aku adalah pilihan nomer satu. Artinya suaraku unggul disana. Dan peluang untuk menang masih terbuka lebar didepan mata. Tapi iu belum keputusan yang akurat. Malam itu, aku singgah sejenak di halaman rumah belakang. Memandang langit nan indah. Berwarna biru menyebar dan merata. Bintang bintang berhamburan. Semuanya mendapat bagian untuk ikut meramaikan dan menghias indahnya payung alam. Tiba tiba terlintas dalam benakku. Andai nanti aku terpilih. Pasti aku akan menjadi seperti langit itu. Aku akan berbuat adil kepada sesamaku. Kepada rakyat, dan semuanya. Harapanku agar Negara ini dapat dipandang seperti indahnya kebersamaan dan keserasian langit malam dengan kerdipan cahya bintang.

Hari ini, tim suksesku datang menemuiku dirumah dan pastinya mereka membawa sepucuk kabar. Entah itu menggembirakan atau sebaliknya. Aku pasrah. Seketika badanku lemas, ketika anggota timku baru saja memulai merancang kalimatnya. Namun, itu tidak lama, karena kabar yang dibawa adalah kabar gembira. Aku berhasil menduduki kursi dewan karena menurut data, aku mendapat suara terbanyak. Aku sujud syukur kepada Tuhan. Sepertinya aku melayang terbawa arus angin kebahagiaan. Aku tidak menyangka, dan aku bangga.

Tetapi kabar berkata lain. Keesokan harinya, ada berita yang menggemparkan. Data suara pemilu seperti halnya pada zaman Aladdin. Data itu dengan sendirinya bisa berubah. Namaku mendapat suara terbanyak setelah beberapa caleg lain. Ada yang berasa tidak beres. Ada apa ini? Aku shock, tapi kucoba untuk tetap tenang. aku harus tetap berusaha berdamai dengan hatiku, sementara tim khusus menangani  permasalahan yang lucu tapi memilukan ini.
Tim bekerja sama dengan kepolisian. Karena hasil penelitian mengatakan bahwa ada seseorang yang dengan sadar menukar hasil data suara resmi kemarin. Dari pihak kepolisian menyarankan untuk diseteksi sidik jari. Dan saran itu diterima dan segera dilakukan. Dan setelah melewati tahap yang memakan waktu agak panjang. Akhirnya sindikat kasus tersebut terselesaikan. Aku tercengang, tubuhku kaku, aku seperti bisu segalanya. Hanya hatiku yang berbicara, ketika aku mengetahui siapa peleku tersebut. Pak Herman. Dia yang selama ini sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Tega berbuat demikian kepadaku. Hanya karena alasan iri hati. Dia tidak ingin aku menjadi lawan main politiknya, apalagi aku menjadi pemenang dalam parade ini.

Akhirnya, keesokan harinya , sidang pertama dibuka dan keputusan perlahan mulai diluncurkan untuk menjatuhkan hukuman kepada ayah dari sahabat anakku itu. Di meja hijau, palu dari hakim agung diketokkan. Keputusannya lumayan berat. Ada beberapa tahun penjara. Kurasa beliau sangat terpukul atas balasan dari aumannya sendiri. Tapi apa bisa kuperbuat. Sampai dirumah, aku berbincang dengan istriku. Kami membuat keputusan baru untuk mencabut tuntutan hakim kepada pak Herman dan menyeesaikannya dengan cara damai. Kemudian, bergegas kami meluncur ke pihak berwajib untuk memperbincangkan keputusan kami. Hakim mengiyakan keputusan kami. Tetapi bukan mencabut, hanya memperingan, karena kasus pak Herman termasuk kasus yang sangat merugikan. Kami menyetujui dan mengucapkan terimakasih atas pengertian pihak berwajib tersebut. Sebelum kami mengundurkan diri, hakim memberitau kami bilamana hal tersebut akan diterbangkan di siding kedua esok hari.

Sidang kedua, dibuka. Sebelum berakhir dan sebelum palu hakim agung kembali dihingar bingarkan. Semua mata dibuat tercengang mendengar keputusan hakim agung bilamana hukuman pak Herman diperingan menjadi beberapa bulan karena alasan tertentu. Ditambah lagi hakim agung menyebut namaku dalam siding tersebut. Aku tersenyum tulus ketika Pak Herman menyorotkan matanya pas didepan mataku. Aku senang bisa membantu sahabatku,kataku dalam hati. Mata Pak Herman berkaca kaca, seakan kita sedang melakukan telepati.
Selesai sidang. Pak Herman, merangkulku, dan meluapkan semua penyesalannya dipundakku. Aku hanya bisa tersenyum lega. Aku puas dengan apa yang kulakukan. Ditambah, cahaya dari waja anakku yang member tanda dia bangga denganku, karena ketulusanku, dia dan Mayya bisa kembali seperti dulu lagi. Tanpa ada haluan sedikitpun.

Karya : Farikhah Qumairoturrohmah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan Teks Fabel Fantasi dan Fabel Fiksi Ilmiah beserta Contohnya

''Puisi Untuk Wakil Rakyat"

CONTOH TEKS FABEL FIKS ILMIAH