cerpen "Sahabat"
Dalam Keabadian
Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 14
tahun. Mungkin apa yang aku inginkan sama seperti ulang tahunku di tahun tahun
lalu. Aku hanya ingin bertemu sahabat kecilku yang sudah 4 tahun lalu pergi
meninggalkanku tak ada kabar. Mungkin dia pindah ke daerah lain karena tuntutan
pekerjaan orang tuanya. Atau mungkin dia ingin mengais ilmu dari setiap insane yang
cerdik yang ditemuinya. Walaupun akhir
akhir ini aku sering mendapatkan bunga tidur yang mengerikan tentangnya,
setidaknya aku tidak boleh percaya begitu saja dengan cerita dibalik lelapnya
malamku. Bahkan setiap hati kecilku mencoba membalikkan kodrat mimpiku, hati
kecilku yang ain seakan akan menolak. Tapi aku yakin, tak ada hal yang
menyakitkan yang terjadi padanya.
Malam ini, seperti biasa. Ditemani
lentera kecil yang menari tertiup hembusan angin malam, kulangkahkan kakiku ke
dekat danau kecil disamping rumahku. Danau yang biasa kukunjungi bersama dengan
sahabat kecilku itu. Airmataku berlinangan menatap bintang yang bertabur
menghiasi langit malam yang kelam. Terlintas begitu nyata tentang kebersamaan
yang kulalui bersama dengannya di hari lalu. Berbagi tawa, berbagi ceria. Bahkan
mendengar keluh kesahku pun dia sudi.
Sejenak masih dalam anganku. Aku
terbayang. Entah apa yang bisa kulakukan dengan waktu hidupku yang mungkin bisa
diitung dengan hitungan hari. Ya, aku seorang penderita kanker otak yang sudah
sejak 6 tahun mengidap penyakit ini. Bertahun tahun aku berteman dengan
ganasnya penyakit ini. bertahun tahun jua, sahabatku menyemangatiku untuk
selalu bangkit dan berjalan kedepan. Cuma dia satu satunya temanku yang selalu
berjalan beriringan denganku. Ketika banyak orang mencelaku, menjauhiku dan
mengucilkanku, tidak dengan sahabatku. Dia selalu tabah menumbuhkan benih benih
penyambung asa dengan harapan agar aku tidak terlalu larut berada dalam luka
dalam yang sebenarnya tak bisa diredam. Pun dia selalu berusaha menanam bibit
senyuman kecil di wajahku. Tapi itu dulu, ketika dia masih ada bersamaku,
temaniku lewati hari hariku yang sangat mencekam. Kini, tak tau lagi aku dimana
dia berada.
Lamunanku pudar sesaat ketika
kulihat bayangan putih melesat diatas payung alam yang berhiaskan kerdipan
bintang. Bintang jatuh. Kulihat tatapan sinarnya yang seakan akan menyapaku
dengan gayanya yang khas. Aku tersenyum. Kuingat kata orang, tentang harapan
kita pada saat kia menemui bintang jatuh. Sesigap mungkin kulontarkan kalimat
demi kalimat yang tersusun dengan hati. Harapanku tetap. Semoga aku bisa
bertemu lagi dengan sahabatku dan kembali seperti dulu lagi. Berulang ulang ku komat
kamitkan bibirku dan masih dengan hal yang sama. Kukirim harapan. Kupanjatkan doa.
Semoga Tuhan masih mendengar pinta dari seorang hamba yang banyak berselimutkan
dosa, sepertiku. Smeoga saja.
Waktu berlalu dengan cepatnya. Aku
masih belum mau mengajak tubuhku untuk kembali ke rumah. Tapi apa daya. Cuaca dan
jarum jam ditanganku sepertinya tidak sepakat dengan kemauanku. Dengan berat,
langkah demi langkah teah membawaku ke depan sebuah rumah yang nampak seperti
ditinggal penghuninya. Aku masuk kedalam. Hening. Hanya terdengar bisik
binatang malam yang silih berganti mengalunkan nada nada kegemarannya. Benar saja,
seperti senja tadi. Ayahku belum pulang kerumah, dan ibuku masih sibuk dengan
urusan bisnisnya. Kupaksakan untuk mengeluarkan nafas ini, yang daritadi sepertinya
masih singgah di dadaku. Semenjak kepergian sahabatku, tak pernah lagi kudengar
kata selamat ulang tahun dari siapapun. Keluarga dekatku sekalipun. Kuteruskan langkah
ini menuju ruangan kecil di hadapanku. Aku berlalu dengan isak tangis.
Esok harinya, suara burung
burung yang berkicau membangunkanku dari tidurku yang panjang. Kubuka mataku
perlahan. Kuucap salam pada sang mentari. Kusapa embun embun yang masih
membasahi. Kusapu wajahku dengan secercah sinar sang surya yang tebarkan
kehangatan. “Tunggu. Hari ini tak seperti hari hari biasanya. Ada apa ini”,aku
bertanya tanya dalam hati. “Sepertinya ada yang mengganjal di hatiku tapi apa?”,
tanyaku semakin tak berujung. Masih berdiri aku didepan jendela kaca yang
bening. Kulihat kebawah. Ada seorang perempuan. “Sepertinya aku kenal,
sepertinya aku sudah akrab dengannya”, sejenak aku berfikir. “caca”, seruku
dalam hati. Bergegas aku turun. Kulihat dia masih termenung dibawah pohon di
halaman rumahku. “Ca” teriakku. Dia memalingkan wajahnya. Dia tersenyum. Berdiri,
lalu berlari dan memelukku. Tangisku meluap di pundaknya, dan akupun merasakan
pundakku juga basah karena airmatanya. Kita larut dalam adegan itu agak lama, “Va,
maafin aku ya, kalok selama ini aku punya salah sama kamu. Maafin aku juga
kalok udah ngrepotin kamu. Makasih banyak Va ya. Atas kebaikan kamu selama ini.
kebaikan keluarga kamu jugak ke aku. Kalian
baik banget sama aku sekeluarga. Va, mungkin ini kali terakhir aku bisa
bertatap muka denganmu. Mungkin juga ini terakhir kali aku bisa melihat senyum
manismu itu, aku bisa berbicara dan menangis bersamamu”, kata Caca yang masih
diselingi buliran buliran airmata yang berjatuhan. “Aku ngga paham Ca, apa
maksudmu Ca. nggak Ca, kita masih bisa ketemu lagi kan Ca. kamu jangan nangis
gitu dong J”,hiburku.
Tawa tawa kecil mulai terdengar
diantara obrolan kita berdua. Belum lama aku melepas rindu pada sahabat
kecilku, suara gaduh dari dalam rumah mengejutkanku. “Va, Elva. Sini cepetan”,
seru ibu. Bergegas aku masuk ke dalam rumah.sesuatu mengejutkanku. Ibu menerima
pesan dari ibunya Caca. Pesan itu berbunyi “Ass. Wr Wb. Maaf mengganggu bu. Ini
saya ibunya Caca. Ada kabar duka dari pihak keluarga kami, bu. Diharap ibu,
Elva dan yang lain bisa dating ke rumah sakit sekarang. Karena Caca sudah
berjuang melewati masa kritisnya. Dan dia gagal”. Deg. Sepertinya denyut nadiku
mulai tak terdeteksi lagi ketika selesai membaca sepucuk pesan yang sangat
menghujam batinku itu. Secepat kilat aku berlari keluar. Kulihat Caca sudah
tidak ada di tempat kami bercengkerama tadi. Yang tingga hanya sebuah kertas
kecil bertuliskan “TERIMAKASIH SAHABATKU” dan tanda tangan Caca dibawahnya. Tertunduk aku. Kakiku tak lagi mampu kuajak
berdiri. ibu yang melihatku segera menahanku dan membawaku ke mobil. Nafasku tak
lagi beraturan. Airmataku tak lagi mampu kubendung sepanjang perjalanan.
Sampai dirumah sakit, kumasuki
kamar yang dikirim ibu Caca melalui pesan singkatnya pada ibu. Aku lemas. Berbaring
dengan senyuman dan wajah yang berseri di hadapanku, sahabatku. Caca. Ternyata
ia juga seorang pengidap kanker. Bahkan lebih awal dariku. Tapi dia tak pernah
bercerita padaku. Selama ini dia mencari obat di Singapura. namun, karena
tubuhnya tak lagi mampu menerima obat obatan yang begitu banyak itu, sepertinya
raganya mulai menyerah dan berkata stop. Aku yang berdiri tepat disampingnya
hanya bisa mennagis dan berfikir apakah nanti aku seperti itu. Hal itu seakan
akan berputar putar di fikiranku.
Semua kenangan yang ia
berikan kepadaku hanya bisa membuatku semakin rindu akan hadirnya. Sampai di suatu saat, aku
merasakan ia mendatangiku dan mengajakku pergi bersamanya, aku mengikutinya dengan asa yang hamper pasrah.
Aku tersenyum pada dunia, karena akhirnya, keinginanku bersama dengan Caca
terwujud. Bahkan dalam keabadian.
karya : Farikhah Qumairoturrohmah
Komentar